Keunikan Suku To Balo/Ist Manadotopnews -Suku To Balo, merupakan sekelompok kecil masyarakat suku yang mendiami daerah pegunungan Bulu...
Keunikan Suku To Balo/Ist |
Manadotopnews-Suku To Balo, merupakan sekelompok kecil masyarakat suku yang mendiami daerah pegunungan Bulu Pao di kabupaten Barru provinsi Sulawesi Selatan.
Masyarakat suku To Balo memiliki keunikan tersendiri, memiliki penampilan kulit yang tidak seperti masyarakat lain pada umumnya. Mereka memiliki kulit yang unik, seluruh bagian tubuh, kaki, badan dan tangan penuh bercak putih, serta di sekitar dahi juga terdapat bercak putih membentuk segitiga. Oleh karena itu lah nama kelompok mereka dikenal sebagai To Balo, "To" berarti "orang", sedangkan "balo" berarti "belang", jadi kalau diartikan "to balo" berarti "orang belang".
Suku To Balo hidup sangat mengisolasi diri, di atas pegunungan. Mereka tidak suka bertemu orang lain di luar komunitas mereka.
Suku To Balo berbicara dengan bahasa yang sama dengan bahasa Bentong tapi dengan dialek To Balo. Oleh karena itu suku To Balo sering dianggap sebagai bagian dari suku Bentong.
Menurut masyarakat lain di kabupaten Barru, bahwa suku To Balo ini mengasingkan diri akibat dari perbedaan kulit mereka Sikap menjauhkan diri dari kelompok masyarakat lain, sudah mereka jalani sejak beberapa abad yang lalu. Pada awalnya kelompok suku To Balo ini hidup berbaur dengan masyarakat lain. Tetapi perbedaan kulit ini membuat mereka sering menjadi ejekan yang membuat mereka merasa sakit hati. Karena seringnya mereka mendapat perlakuan seperti ini, maka mereka memilih untuk mencari suatu tempat yang jauh dari masyarakat lain.
Mereka memasuki hutan pedalaman dan akhirnya menetapkan pilihan untuk menetap dan membangun pemukiman di atas pegunungan Bulu Pao di wilayah kabupaten Barru sekarang.
Populasi suku To Balo saat ini jauh menyusut dari sejak beberapa abad yang lalu. Saat ini diperkirakan tinggal puluhan orang saja. Penyusutan jumlah populasi ini diperkirakan akibat dari tradisi mereka sendiri.
Dalam tradisi suku To Balo, jumlah anggota keluarga dalam setiap keluarga tidak boleh lebih dari 10 orang. Apabila terjadi, hadir anggota keluarga yang ke-11, maka harus dibunuh atau dibuang ke suatu tempat yang diyakini bisa membuat orang ke-11 ini pada akhirnya mengalami kematian.
Terdapat satu keluarga, yaitu dari keluarga Nuru bin Rien bersama satu istri, dua anaknya Rakdak dan Mantang, serta beberapa anggota keluarga, yang memiliki sebuah gubuk di pegunungan Bulu Pao. Di petak sempit inilah, kehidupan Nuru sekeluarga terkotak. Mereka bercengkrama, memasak, bercocok tanam ubi, jagung, dan kacang, serta mengolah gula merah. Tapi sesekali mereka turun gunung juga untuk menjual hasil bercocok tanam serta gula merah ke Pasar Kamboti di desa Bulo-Bulo. Mereka mendapat hasil uang yang tak seberapa. Tapi hasil ini sudah cukup membuat mereka bahagia.
Kelainan yang dialami oleh suku To Balo, tidak diketahui secara pasti, sekilas menyerupai kulit yang bekas terbakar. Tapi ini kemungkinan ini pada awalnya terjadi kelainan gen, tetapi karena terjadi hubungan antara 2 orang yang mengalami kelainan seperti ini, maka keturunan-keturunannya pun menuruti memiliki kelainan seperti ini. Namun, masyarakat To Balo berkeyakinan bahwa kelainan ini merupakan kutukan dewa. Menurt cerita, pada suatu ketika, ada satu keluarga yang menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Keluarga itu mengusik kedua kuda yang akan kawin tersebut. Maka marahlah dewa lantas mengutuk keluarga ini, yang mana seketika keluarga ini memiliki kulit seperti sepasang kuda belang tersebut.
Selama ini suku To Balo melakukan perkawinan hanya dengan kalangan mereka sendiri, sehingga keturunan-keturunan mereka pun akan menghasilkan kulit yang seperti ini lagi. Apabila mereka melakukan kawin-campur dengan masyarakat lain, diyakin keturunan-keturunan mereka pun akan pulih seperti manusia berkulit normal.
Karena keterasingan suku to Balo ini, membuat mereka semakin tertinggal, terutama pada bidang pendidikan. Anak-anak mereka tidak mendapatkan pendidikan yang baik, sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa membaca. Pemerintah daerah sepertinya hanya tertarik menjadikan suku To Balo ini menjadi barang jualan obyek wisata. Padalah menjual "kelainan" suku To Balo ini, justru semakin melukai perasaan mereka di tengah derita yang mereka alami selama ini. Seharusnya pemerintah daerah lebih memperhatikan hidup mereka dari segi kualitas serta kesehatan mereka, bukan menggiring mereka menjadi sekedar "barang jualan obyek wisata".
Kehidupan suku To Balo ini, pada umumnya adalah bercocok tanam ubi, jagung dan kacang. Mereka juga membuat gula merah, dan hasilnya di jual di pasar Kamboti di desa Bulo-bulo dengan berjalan kaki menempuh jarak yang jauh Kehidupan. (*/pm/Isk
Masyarakat suku To Balo memiliki keunikan tersendiri, memiliki penampilan kulit yang tidak seperti masyarakat lain pada umumnya. Mereka memiliki kulit yang unik, seluruh bagian tubuh, kaki, badan dan tangan penuh bercak putih, serta di sekitar dahi juga terdapat bercak putih membentuk segitiga. Oleh karena itu lah nama kelompok mereka dikenal sebagai To Balo, "To" berarti "orang", sedangkan "balo" berarti "belang", jadi kalau diartikan "to balo" berarti "orang belang".
Suku To Balo hidup sangat mengisolasi diri, di atas pegunungan. Mereka tidak suka bertemu orang lain di luar komunitas mereka.
Suku To Balo berbicara dengan bahasa yang sama dengan bahasa Bentong tapi dengan dialek To Balo. Oleh karena itu suku To Balo sering dianggap sebagai bagian dari suku Bentong.
Menurut masyarakat lain di kabupaten Barru, bahwa suku To Balo ini mengasingkan diri akibat dari perbedaan kulit mereka Sikap menjauhkan diri dari kelompok masyarakat lain, sudah mereka jalani sejak beberapa abad yang lalu. Pada awalnya kelompok suku To Balo ini hidup berbaur dengan masyarakat lain. Tetapi perbedaan kulit ini membuat mereka sering menjadi ejekan yang membuat mereka merasa sakit hati. Karena seringnya mereka mendapat perlakuan seperti ini, maka mereka memilih untuk mencari suatu tempat yang jauh dari masyarakat lain.
Mereka memasuki hutan pedalaman dan akhirnya menetapkan pilihan untuk menetap dan membangun pemukiman di atas pegunungan Bulu Pao di wilayah kabupaten Barru sekarang.
Populasi suku To Balo saat ini jauh menyusut dari sejak beberapa abad yang lalu. Saat ini diperkirakan tinggal puluhan orang saja. Penyusutan jumlah populasi ini diperkirakan akibat dari tradisi mereka sendiri.
Dalam tradisi suku To Balo, jumlah anggota keluarga dalam setiap keluarga tidak boleh lebih dari 10 orang. Apabila terjadi, hadir anggota keluarga yang ke-11, maka harus dibunuh atau dibuang ke suatu tempat yang diyakini bisa membuat orang ke-11 ini pada akhirnya mengalami kematian.
Terdapat satu keluarga, yaitu dari keluarga Nuru bin Rien bersama satu istri, dua anaknya Rakdak dan Mantang, serta beberapa anggota keluarga, yang memiliki sebuah gubuk di pegunungan Bulu Pao. Di petak sempit inilah, kehidupan Nuru sekeluarga terkotak. Mereka bercengkrama, memasak, bercocok tanam ubi, jagung, dan kacang, serta mengolah gula merah. Tapi sesekali mereka turun gunung juga untuk menjual hasil bercocok tanam serta gula merah ke Pasar Kamboti di desa Bulo-Bulo. Mereka mendapat hasil uang yang tak seberapa. Tapi hasil ini sudah cukup membuat mereka bahagia.
Kelainan yang dialami oleh suku To Balo, tidak diketahui secara pasti, sekilas menyerupai kulit yang bekas terbakar. Tapi ini kemungkinan ini pada awalnya terjadi kelainan gen, tetapi karena terjadi hubungan antara 2 orang yang mengalami kelainan seperti ini, maka keturunan-keturunannya pun menuruti memiliki kelainan seperti ini. Namun, masyarakat To Balo berkeyakinan bahwa kelainan ini merupakan kutukan dewa. Menurt cerita, pada suatu ketika, ada satu keluarga yang menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Keluarga itu mengusik kedua kuda yang akan kawin tersebut. Maka marahlah dewa lantas mengutuk keluarga ini, yang mana seketika keluarga ini memiliki kulit seperti sepasang kuda belang tersebut.
Selama ini suku To Balo melakukan perkawinan hanya dengan kalangan mereka sendiri, sehingga keturunan-keturunan mereka pun akan menghasilkan kulit yang seperti ini lagi. Apabila mereka melakukan kawin-campur dengan masyarakat lain, diyakin keturunan-keturunan mereka pun akan pulih seperti manusia berkulit normal.
Karena keterasingan suku to Balo ini, membuat mereka semakin tertinggal, terutama pada bidang pendidikan. Anak-anak mereka tidak mendapatkan pendidikan yang baik, sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa membaca. Pemerintah daerah sepertinya hanya tertarik menjadikan suku To Balo ini menjadi barang jualan obyek wisata. Padalah menjual "kelainan" suku To Balo ini, justru semakin melukai perasaan mereka di tengah derita yang mereka alami selama ini. Seharusnya pemerintah daerah lebih memperhatikan hidup mereka dari segi kualitas serta kesehatan mereka, bukan menggiring mereka menjadi sekedar "barang jualan obyek wisata".
Kehidupan suku To Balo ini, pada umumnya adalah bercocok tanam ubi, jagung dan kacang. Mereka juga membuat gula merah, dan hasilnya di jual di pasar Kamboti di desa Bulo-bulo dengan berjalan kaki menempuh jarak yang jauh Kehidupan. (*/pm/Isk