Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)/Ist Manadotopnews.com -Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) “mengajak” Pergerakan Mahasi...
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)/Ist |
Manadotopnews.com-Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) “mengajak” Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kembali menjadi Badan Otonom (Banom) dengan masa tenggang waktu sampai tahun 2015. Ajakan tersebut patut ditanggapi serius dan pembacaan yang kritis, mengingat hubungan historis-kultur dan pola kaderisasi PMII ke depan.
Secara historis dan kultur, PMII memiliki hubungan yang sangat intim dengan NU. Bahkan, PMII merupakan anak kandung yang lahir dari rahim NU. Adalah Sebuah keniscayaan, NU “melahirkan” PMII mengingat ruang kaderisasi dan ideologisasi kaum Nahdliyin di tingkatan mahasiswa tidak terakomodir dengan sistematis dan tercerai berai. Sehingga dengan lahirnya PMII diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai ke-Islaman-an yang berlandaskan ahlussunnah wal jamaah di tingkatan mahasiswa.
Sejak lahirnya organisasi kemahasiswaan yang berlandaskan ahlussunnah wal jamaah, sampai pada era tahun 70-an, NU merupakan salah satu partai politik murni. Sebagai partai politik murni, PMII merupakan organisasi strategis dalam mendukung kebijakan NU, bahkan pemerintah sekalipun. Namun, sesuai perubahan peta politik yang sangat cepat, NU mengalami konflik internal yang mengakibatkan keterpecahan di dalamnya. Di luar konflik internal, sebagaimana ditulis oleh M. Hanif Dhakiri (Pustaka Pesantren, 2013), kebijakan pemerintahan Orde Baru juga memporak-porandakan NU, yang dikenal dengan sebutan fusi partai politik.
Selama tahun 60-an sampai 70-an, PMII-NU bersifat dependen. Baru pada tahun 1972, PMII mendeklarasikan diri independen dari NU, yang dikenal dengan Deklarasi Munarjati. Deklarasi Munarjati—PMII menarik diri dari NU—merupakan keputusan yang tepat mengingat peta politik yang serba sentralistik pada era Orde Baru.
Di luar itu, ada sebuah asumsi dan landasan yang sangat mendasar ketika PMII harus keluar dari garis partai politik, yakni terkungkungnya ruang gerak dan pemikiran mahasiswa waktu itu. Di mana, mahasiswa dipaksa melibatkan diri dalam politik nasional untuk melawan pemerintahan sebagai musuh bersama (common enemy).
Baru pada tahun 1984, ketika NU mendeklarasikan diri menjadi organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, yakni kembali ke Khitah 1926, NU melepas predikat dirinya sebagai partai politik dan kembali fokus kepada masyarakat (ekonomi dan pendidikan pesantren). Meskipun terjadi deklarasi kembali ke Khittah, NU tidak sepenuhnya lepas dari dinamika politik nasional waktu itu bahkan sampai sekarang. Dari sinilah hubungan antara NU dan PMII bersifat interpendensi, yakni NU dan PMII tidak terikat secara struktural, melainkan secara kultural.
PMII yang merupakan organisasi kemahasiswaan yang notabene-nya, kader-kadernya berasal dari kalangan NU secara geografis dan nilai, memiliki banyak kesamaan dengan NU. Namun, juga tidak patut dikesampingkan sebagai sebuah fakta sosial, bahwa sebagian STAIN atau IAIN pasca mengalami konversi menjadi UIN, PMII tidak lagi menjadi sebuah organisasi yang ekslusif, melainkan inklusif.
Inklusivitas PMII, seharusnya patut diapresiasi karena PMII menjadi organisasi kemahasiswaan yang terbuka bagi setiap golongan. PMII tidak hanya memiliki kader yang sudah sejalan dan seirama (taken for granted) secara ideologi ke-Islam-annya. PMII membuka ruang bagi mahasiswa yang berasal dari golongan keagamaan seperti Muhammadiyah dan berlatar belakang non-pesantren.
Lantas, bagaimana PMII harus menyikapi “ajakan” NU agar supaya PMII kembali secara struktural? Pertama, PMII harus merespon dengan positif ajakan tersebut. Sebagai organisasi yang memiliki kesamaan ideologi (baca: Aswaja), memang sangat penting menyatukan diri agar tidak terjadi dualisme visi dan misi dalam mentransformasikan ideologi Aswaja. Dengan menjadi Banom NU, eksistensi PMII juga akan semakin kuat.
Tetapi disisi yang lain, kecurigaan harus tetap dimiliki oleh PMII dengan ajakan tersebut. Kecurigaan tersebut bukan berarti lantas berpikiran buruk dengan ajakan tersebut, tetapi memikirkan masa depan kaderisasi PMII ke depan. Sebagai gerakan mahasiswa yang berada di luar parlementer, PMII harus memiliki sikap independen terhadap organisasi apapun, apalagi partai politik.
Benar memang, bahwa NU telah kembali menjadi organisasi masyarakat dan keagamaan setelah deklarasi 1984, di Sitobondo, Jawa Timur. Tetapi sebagaimana ditulis oleh Abdul Halim (Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama, 2014), kembalinya NU ke Khitah 1926 tidak menutup ruang para ulama NU menjadi aktor politik. Pendapat ini dapat dilihat dari masuknya lima menteri dalam Kabinet Kerja yang berasal dari NU dan, tersebarnya kader-kader NU di berbagai partai politik.
Hemat penulis sebagai kader PMII, sinergitas gerakan antara PMII dan NU tidak musti dilakukan dengan menempatkan PMII di dalam struktur NU sebagai Banom. PMII memiliki tradisi yang kuat seperti silaturahmi. Di dalam silaturahmi itulah, diskusi tentang arah gerakan dan transformasi nilai-nilai Aswaja akan lebih cair, karena keduanya tidak memiliki tendensi politik untuk mengitervensi satu sama lain.
Oleh: Ahmad Riyadi, Koordinator Penelitian dan Pengembangan PMII Komisariat Pondok Sahabat Masa Khidmat 2014-2015, Mahasiswa Sosiologi Fishum UIN Sunan Kalijaga.
(*/oz/sh)